STOP PEKERJA ANAK

Pekerja Anak adalah anak yang melakukan pekerjaan untuk memenuhi kebutuhan ekonomi, sehingga menghambat hak bermain dan belajarnya. Pemerintah sudah, sedang, dan terus melakukan langkah-langkah untuk mempercepat terwujudnya peta jalan Indonesia bebas pekerja anak tahun 2022. Salah satunya melalui kegiatan Pengurangan Pekerja Anak dalam rangka mendukung Program Keluarga Harapan (PPA-PKH).

Ketua KPAI, Dr. Susanto, MA menyampaikan bahwa Situasi pekerja anak dalam 5 tahun terakhir belum menunjukkan penurunan signifikan. Penarikan pekerja anak dianggap berhasil pada tahun 2015, namun meningkat kembali pada tahun 2016 hingga kini. Persoalan pekerja anak terkonfirmasi oleh meluasnya varian pekerja anak, jangkauan peningkatan pekerja anak dan kasus demi kasus yang terlaporkan kepada Lembaga mengenai jumlah eksploitasi dan tindak pidana perdagangan orang. Angka eksploitasi dan TPPO pada anak dalam data di KPAI menunjukan data dinamis mencapai 2.474 kasus sejak tahun 2011 sd 2020.

Memasuki tahun 2020, persoalan pekerja anak semakin kompleks manakala wabah pandemi covid-19 berdampak signifikan terhadap ekonomi dan social. Terutama bagi mereka yang rentan secara ekonomi. Hal ini menimbulkan dampak domino pada pekerja anak dan keluarganya. Beragam kebijakan protocol kesehatan untuk memutus mata rantai penyebaran covid-19 salah satunya menuntut anak-anak belajar dari rumah (BDR). Namun di sisi lain kondisi tersebut dimanfaatkan oleh keluarga menjadi peluang anak dapat dipekerjakan untuk menambah penghasilan keluarga. Bukan hal mudah melewatinya, anak menjadi kelompok rentan yang kemudian menjalani kehidupan sebagai pekerja anak hingga masuk dalam bentuk-bentuk pekerjaan terburuk bagi anak (PBTA). Dalam penelitian ILO, dampak dan resiko bagi anak dimasa pandemik diramalkan telah mengakibatkan kemunduran bertahun-tahun. Salah satunya adalah mungkin akan melihat peningkatan pekerja anak untuk pertama kalinya dalam 20 tahun terakhir. Pandemi bukan saja membalik keberhasilan penarikan pekerja anak yang selama ini dilakukan, sekarang bahkan jutaan anak beresiko kembali bekerja di usia dini atau dalam kondisi yang membahayakan (ILO 4th Monitoring, 27 Mei ).

Komisioner KPAI Bidang Traficking dan Eksploitasi, Ai Maryati Solihah menyampaikan bahwa Biro Pusat Statisik (BPS) tahun 2009 meyatakan bahwa jumlah anak di Indonesia dengan kelompok umur 5-17 tahun sebesar 58,8 juta anak dengan 4,05 juta atau 6,9% diantaranya dianggap sebagai anak-anak yang bekerja. Dari jumlah total tersebut sejumlah 1,76 juta anak atau 43,3 % adalah pekerja anak dan 20,7% bekerja pada bentuk-bentuk pekerjaan terburuk anak (PBTA )

Beragam kebijakan merespon situasi tersebut, salah satunya melalui rapat terbatas dengan Presiden, Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) yang menangani urusan perempuan dan anak memperoleh mandate yakni program prioritas nasional meliputi (1) Mengefektifkan Peran keluarga dalam Pengasuhan Anak, (2)Menurunkan Tingkat Kekerasan Pada Anak (3) Menekan angka pekerja anak (4) Mencegah Perkawinan Usia Anak Dengan Tanpa Mengurangi Perhatian Pada Kebutuhan Perlindungan Khusus Lainnya (5) Meningkatkan Pemberdayaan Perempuan Di Bidang Kewirausahaan. Sehingga KPAI sebagai Lembaga negara yang bertugas melakukan pengawasan mengambil andil dalam turut serta menekan angka pekerja anak. Sejatinya anak tidak boleh bekerja, anak tidak tidak boleh bertanggungjawab atas kebutuhan dan ekonomi keluarga. Namun situasi dan latar belakang mereka bekerja dan masuk dalam katagori pekerja anak tidak lepas dari peran orang tua, keluarga dan orang dewasa/lingkungan yang melekat di sekitarnya.

Keragaman situasi tersebut melahirkan pengelompokan anak bekerja dan pekerja anak, serta pekerjaan terburuk pada anak/PBTA, yang memiliki karakteristik khusus saat anak berinteraksi dan beraktivitas dalam dunia pekerjaan. Untuk itu, KPAI melakukan kerja sama dengan IOM, Sekertariat Jarak dan para pegiat TPPO dan pegiat anak dalam menyelenggarakan survey pekerja anak yang menyasar observasi pada anak, yakni komunitas anak-anak yang bekerja pada bentuk pekerjaan terburuk, terdiri dari 5 sektor; (1) anak yang dilacurkan (2) anak Pemulung (3) anak Jalanan (4) anak yang bekerja di sector pertanian dan (5) pekerja rumah tangga anak. Kemudian wawancara terhadap orangtua, Pemerintah Daerah, Lembaga penyedia layanan dan masyarakat pendamping pekerja anak. Survey dilakukan pada 9 provinsi meliputi 20 kota dan kabupaten selama dua bulan yakni September-Oktober.

[supsystic-social-sharing id='1']

Artikel Terkait…

0 Komentar

Kirim Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *