8 Oktober 2020 Jam 19:29

Pekerja anak di Indonesia masih jauh dari nol

Jumlah pekerja anak di Indonesia mengalami peningkatan dalam kurun waktu tiga tahun. Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan, pada 2017 terdapat 1,2 juta pekerja anak di Indonesia dan meningkat 0,4 juta atau menjadi sekitar 1,6 juta pada 2019.

International Labour Organization (ILO) menggambarkan, anak yang harus bekerja akan terampas masa kecilnya–bahkan potensi dan martabatnya. Situasi tersebut berbahaya bagi perkembangan fisik dan mental mereka.

Kegelisahan ILO tertuang dalam konvensi yang telah diratifikasi di Indonesia melalui UU No. 20/1999. UU itu menyebutkan pekerjaan ringan hanya boleh dilakukan pekerja berusia 16 tahun ke atas. Batas usia pekerja anak yang membahayakan kesehatan, keselamatan, atau moral, di atas 18 tahun.

Berdasar beleid itu pula Pemerintah Indonesia mencanangkan Indonesia Bebas Pekerja Anak tahun 2022. Sebuah upaya percepatan jangka panjang yang komprehensif dalam menghapus pekerja anak di seluruh Indonesia dengan melibatkan semua pihak.

Namun, jumlah pekerja anak di Indonesia belum mendekati “nol” meski tenggat kian dekat. Survei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS) 2019 mendata masih ada sekitar 1,6 juta anak berusia 10-17 tahun yang “terpaksa” bekerja.

Berdasarkan komposisi jenis kelamin, hasil olah data Lokadata.id mendapati pekerja anak di Indonesia didominasi jenis kelamin laki-laki di semua wilayah, kecuali di Bali. Jumlahnya sekitar 987 ribu atau 63 persen, sisanya adalah perempuan 569 ribu.

“Kalau di Indonesia karena beban nafkah, mencari pekerjaan ada di laki-laki, jadi berpengaruh pada anak-anak. Anak-anak juga berfikir mencari uang, dan bergerak ke publik,” jelas peneliti dari Pusat Penelitian Kependudukan LIPI, Andy Ahmad Zaelany, kepada Lokadata.id, Selasa (4/8/2020).

Khusus di Bali, sudah lazim bahwa perempuan di Pulau Dewata itu dikenal tangguh dan pekerja keras. Mereka mampu menjalankan tiga peran sekaligus, yakni peran keluarga, peran ekonomi, dan peran adat keagamaan.

Lain Bali, lain pula di Papua. Dari sisi tingkat pendidikan yang ditamatkan, wilayah Papua didominasi pekerja anak yang tak berijazah, 52 persen atau sekitar 48 ribu anak.

Andy mensinyalir, tingginya angka tak-sekolah tersebut dikarenakan kesadaran akan pendidikan masih menjadi persoalan utama.

“Masalah di Papua terkait pendidikan, seperti akses, karena jarak yang jauh, ditambah lagi membantu orang tua untuk bekerja. Akhirnya, orang tua juga memikirkan trade off ketika akan menyekolahkan anaknya,” tandas Andy yang juga peraih magister dari Universitas Gottingen, Jerman.

Bila dilihat berdasarkan wilayah kabupaten/kota, Kabupaten Bandung menempati urutan pertama dengan 23 ribu pekerja anak. Berikutnya Kabupaten Humbang Hasundutan (17 ribu), kemudian Kabupaten Tolikara, dan Kabupaten Bone masing-masing 14 dan 12 ribu pekerja anak.

Selain tingkat kemiskinan, tingginya pekerja anak di Bumi Parahyangan ini juga disebabkan oleh angka putus sekolah, dan tingkat fertilitas total. Sebuah studi S1 dari Universitas Airlangga (2018) menyebutkan, banyaknya keluarga miskin dan angka kelahiran yang tinggi di Jawa Barat cenderung sulit diatasi.

Dampaknya, beban ketergantungan dalam sebuah keluarga tinggi, dan peluang seorang anak untuk bersekolah semakin kecil karena sekolah mahal. Sulit pula mencapai tingkat kesejahteraan terutama dalam bidang ekonomi.

Urusan multipihak

Sejumlah faktor jadi penyebab anak terjerumus ke pasar kerja sebelum waktunya. Menurut Andy, kemiskinan adalah faktor utamanya. Kemiskinan memantik seorang anak untuk bekerja mencari nafkah demi membantu keberlangsungan hidup keluarga.

“Pada kondisi kemiskinan meningkat, ekonomi memburuk, semua anggota keluarga bergerak mencari nafkah. Apalagi makin kesini banyak problem dengan masalah kemiskinan seperti perceraian keluarga, anak terpaksa membantu ibunya atau ayahnya,” kata Andy.

Mengingat faktor penyebab yang kompleks, tak akan mudah menepati target pada 2022. Tersisa tiga tahun menuju tenggat Indonesia bebas pekerja anak. Sesuai peta jalan, ada empat area kebijakan yang perlu dijalankan.

Pertama, harmonisasi peraturan perundang-undangan dan penegakan hukum. Hukum yang selaras dengan Konvensi ILO dan Deklarasi PBB diperlukan sebagai pondasi yang kuat bagi efektivitas dan kesinambungan aksi-aksi pemerintah dan pemangku kepentingan lainnya.

Kedua, pendidikan dan pelatihan. Selain memperluas dan meningkatkan akses wajib belajar dari 9 menjadi 12 tahun, juga mengarusutamakan pendidikan sebagai kebutuhan bagi anak, orangtua, dan komunitas.

Ketiga, perlindungan sosial. Melalui program transfer tunai, dan pemenuhan kebutuhan dasar. Program ini menjamin pendapatan dan stabilitas sosial agar anak-anak tetap berpartisipasi di sekolah dan mencegah mereka memasuki pasar kerja sejak dini.

Terakhir, membuat kebijakan yang efektif untuk mendukung pasar kerja yang aktif dan berfungsi dengan baik, penciptaan lapangan kerja, dan pekerjaan produktif yang layak untuk orang dewasa.

Bukan program yang sempurna. Lola Amelia, peneliti bidang Sosial di The Indonesian Institute, Center for Public Policy and Research, pada 2015 silam pernah mengkritik bahwa implementasi pelbagai kebijakan terkait pekerja anak belum optimal. Masih banyak pekerjaan rumah yang belum selesai.

Misalnya, perlu evaluasi implementasi Keppres Rencana Aksi Nasional Penghapusan Bentuk-Bentuk Pekerjaan Terburuk Untuk Anak. Salah satu masalah adalah tidak berjalannya koordinasi antarpihak terkait.

Isu pekerja anak yang melibatkan banyak Kementerian/Lembaga, menjadi tantangan bagi para pihak untuk bekerja sama secara efektif. Lalu, evaluasi terhadap efektivitas program yang telah berjalan. Masih ada tumpang tindih antar-program saat pelaksanaan di lapangan.

“Persoalan pekerja anak bukan semata pekerjaan Kemenaker, juga kementerian lain. Bukan hanya pekerjaan wajib pemerintah pusat, tapi juga masuk ke ranah tugas pemerintah daerah. Bukan pula hanya urusan pemerintah, tapi juga sektor swasta yang menjadikan anak sebagai pekerja,” tegasnya dalam tulisan tersebut.

Sumber : Lokadata.id

[supsystic-social-sharing id='1']

Artikel Terkait…

0 Komentar

Kirim Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *