6 Oktober 2025 Jam 11:47

Ketua GOW Banjarnegara Ajak Kaum Perempuan Berani Bersuara, Jika Terjadi KDRT

BANJARNEGARA – Ketua Gabungan Organisasi Wanita (GOW) Kabupaten Banjarnegara, Ibu Hj Sri Rejeki Indarto, S.E., mengajak kaum perempuan untuk berani bersuara (speak up) jika mengalami kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Ia menegaskan, keberanian perempuan dalam mengungkapkan kekerasan yang dialami merupakan langkah penting untuk memutus rantai kekerasan dan membuka jalan bagi perlindungan serta pemulihan korban.

“Kami mengajak seluruh perempuan untuk tidak takut speak up jika mengalami kekerasan. Suara perempuan sangat penting agar kasus tidak terus tersembunyi. GOW Banjarnegara akan terus berupaya menjadi mitra masyarakat dalam pencegahan dan penanganan kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak,” tegas Sri Rejeki saat membuka Sosialisasi Pencegahan Kekerasan terhadap Perempuan dan Anak, Senin (6/10/2025) di Aula Sasana Abdi Praja Setda Banjarnegara.

Melalui sosialisasi ini, Sri Rejeki berharap dapat meningkatkan kesadaran, kepedulian, dan keberanian masyarakat dalam mencegah serta menangani kekerasan terhadap perempuan dan anak. Program ini juga memperkuat peran komunitas sebagai sistem pendukung bagi korban agar tidak lagi terdiam menghadapi kekerasan

Kegiatan sosialisasi diikuti perwakilan anggota GOW se-Kabupaten Banjarnegara. Mengusung tema “Luka yang Tak Terlihat, Dampak Psikologis KDRT”, GOW menghadirkan narasumber dari Pengadilan Agama dan psikolog RSUD Banjarnegara. Program ini menjadi bentuk kepedulian GOW terhadap meningkatnya kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak yang sering tidak terungkap ke publik.

*Dispensasi Nikah Tinggi, Picu KDRT*
Narasumber pertama, Dra. Hidayaturohman, M.H yang merupakan Hakim Pengadilan Agama Banjarnegara, mengungkapkan bahwa meningkatnya permohonan dispensasi nikah menjadi salah satu pemicu maraknya KDRT.

“Banyak permohonan dispensasi nikah diajukan karena kehamilan di luar nikah. Pernah kami menangani kasus di mana kedua anak hanya lulusan SD. Kondisi seperti ini sangat rentan menimbulkan masalah rumah tangga, termasuk KDRT,” jelasnya.

Hidayaturohman juga mengulas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UU PKDRT), yang menjadi dasar hukum perlindungan korban dan pemulihan untuk menghapus kekerasan dalam keluarga.

*KDRT, Puncak Gunung Es*
Sementara itu Psikolog RSUD Banjarnegara, Gones Saptowati, S.Psi., M.A., memaparkan bahwa kasus KDRT di Indonesia capai 10.240 perkara per 4 September 2025, namun jumlah ini diyakini hanya puncak gunung es.

“Angka itu hanya mencerminkan kasus yang dilaporkan. Jauh lebih banyak korban yang memilih diam,” ujarnya.

Gones menjelaskan bahwa pernikahan usia dini sering menjadi awal munculnya persoalan rumah tangga yang kompleks, mulai dari kekerasan fisik, tekanan ekonomi, gangguan kesehatan, hingga stunting pada anak. Ia juga menegaskan bahwa KDRT tidak hanya berupa kekerasan fisik, tetapi mencakup kekerasan seksual, verbal, dan psikologis.

Korban KDRT umumnya mengalami gangguan stres pascatrauma atau Post-Traumatic Stress Disorder (PTSD) dan sangat membutuhkan dukungan lingkungan untuk bangkit.

“Bagi pelaku, penyelesaian bukan hanya hukuman, tetapi juga rehabilitasi dan konseling untuk memutus siklus kekerasan,” pungkas Gones.*** (kominfo_mujiprast).

[supsystic-social-sharing id='1']

Artikel Terkait…

0 Komentar

Kirim Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *